Awal Mula Perjalanan Minimalisku
Pernahkah kalian berada pada suatu titik kehidupan dimana udah gatau lagi kudu ngapain saat segala sesuatu udah dilakuin dan tetep aja merasa stuck. Sampai bingung sama yang diinginkan oleh diri sendiri dan sering muncul pertanyaan, "Nih Aku sebenarnya maunya apa sih?" "Nih hidupku mau Aku apain lagi ya?"
Retty NCS
9/22/2024


Stuck
Pernahkah kalian berada pada suatu titik kehidupan dimana udah gatau lagi kudu ngapain saat segala sesuatu udah dilakuin dan tetep aja merasa stuck. Sampai bingung sama yang diinginkan oleh diri sendiri dan sering muncul pertanyaan,
"Nih Aku sebenarnya maunya apa sih?"
"Nih hidupku mau Aku apain lagi ya?"
Masa-masa itu Aku mencoba memikirkan banyak hal baru yang bisa kulakukan sembari berpikir mungkin hidupku terlalu datar dan monoton sehingga Aku butuh hal baru. Liburan, pindah ke tempat tinggal yang lebih luas dengan segala fasilitasnya, bahkan sempat berpikir buat nikah aja kali ya? (tentu saja Aku tidak senekat itu untuk nikah karena stuck).
Liburan ke berbagai tempat baru, hingga Aku membeli rumah. Wow! rumah keduaku. Karena sebelumnya Aku sedang dalam proses memiliki (cicilan) rumah pertamaku di desa. Sebagian besar sumber daya keuanganku kucurahkan di rumah kedua ini. Begitu bersemangat di awal tentu saja, tak lama, lalu Aku merasa stuck lagi.
Pandemi Covid di tahun 2020 akhirnya membuatku mengambil keputusan besar untuk membatalkan pembelian rumah kedua dan bersamanya Aku kehilangan sejumlah uang yang sudah kusetor sebagai uang muka. Tidak jadi pindah ke tempat lebih luas? Oh tentu saja jadi. Tidak harus punya rumah untuk menempati rumah. Aku menyewa rumah. Rumah sewa dengan segala pertimbangannya yang akhirnya Aku sadar ini adalah rumah yang kuinginkan selama ini. Menikmati tinggal sendiri di rumah dua lantai berukuran 90 meter persegi dengan ruang kerja terpisah. Sungguh ini rumah impianku.
Kupikir Aku tidak akan stuck lagi, nyatanya Aku kembali lagi ke awal yang sama. Semua perasaan ini ternyata hanya semu. Aku masih dengan diriku yang stuck.
Goodbye, Things
Sebuah buku karya Fumio Sasaki. Goodbye, things. Buku yang akan selalu kuingat seumur hidupku. Buku pertama yang selesai kubaca. Aku yang selalu melabeli diriku sebagai seorang pemalas yang tidak suka membaca, bahkan seolah mustahil untuk bisa menyelesaikan satu buku. Tentu saja Aku salah. Melabeli diri untuk denial dan membatasi diri. Nyatanya buku ini bisa kuselesaikan. Darisini Aku belajar, jangan sembarang melabeli diri dengan hal negatif, bisa jadi itu bukan yang sesungguhnya terjadi, melainkan justru penghambat diri.
Aku suka banget dengan bagaimana Bapak Fumio ini memaparkan di bukunya tentang minimalis. Selesai membaca buku ini, disitulah kumulai perjalanan minimalisku. Karena sejatinya minimalis bukanlah tujuan, melainkan sebuah perjalanan.
Mengurangi kepemilikan, melepaskan keterikatan. Kebahagiaan tidak ditentukan oleh kepemilikan barang. Tidak memilikinya tidak lantas membuat kita tidak bahagia.
Kukombinasikan dengan metode Marie Kondo untuk mulai mengurangi kepemilikan. Memulainya dengan pakaian. Kubongkar lemariku, kutumpuk semua pakaianku di kamar. Kutatap tumpukan itu dan menyadari betapa konsumtifnya Aku. Satu model pakaian bisa kumiliki 3 sampai 5 dengan warna yang berbeda padahal yang dipakai ya itu-itu saja.
Kupilah pakaian yang membuatku "spark" dan ternyata yang kulepaskan lebih banyak daripada yang kupertahankan. Darisini Aku belajar dan menemukan kesadaran ternyata hidup yang kujalani selama ini adalah hidup konsumerisme. Dari mengurangi kepemilikan pakaian, disusul barang yang lain bahkan tidak hanya melepaskan kepemilikan barang, melepaskan keterikatan terhadap yang lainpun akhirnya kuberanikan diri untuk memutuskannya.
Seperti memutuskan untuk resign setelah sepuluh tahun bekerja di korporasi.
Minimalis Adalah Perjalanan
Hidupku yang stuck mulai mendapatkan titik terangnya. Aku merasakan kelegaan tersendiri setelah mengurangi kepemilikan dan melepaskan keterikatan. Rasanya lebih ringan dalam menjalani kehidupan ini. Belajar untuk tidak mengaitkan kebahagiaan kepada barang yang kumiliki. Tidak lagi membandingkan apa yang kumiliki dengan apa yang orang lain miliki.
Belajar lagi tentang apa itu bersyukur. Bukan lagi dengan melihat kebawah, Aku tidak perlu lagi melihat yang tidak lebih beruntung dariku untukku bersyukur. Aku bersyukur atas apa yang kumiliki, aku cukup melihat diriku. Aku belajar, rasa syukur itu datang dari dalam diri, bukan dengan melihat yang di luar diri.
Minimalis bukanlah tujuan akhir. Tidak akan pernah ada akhirnya. Minimalis adalah sebuah perjalanan. Seiring perjalananku dalam hidup, bersamanya Aku juga akan terus belajar untuk memegang value minimalis dalam hidupku. Akan selalu ada yang perlu dikurangi dan dilepaskan.
Mengurangi dan melepaskan tentu bukan hal yang mudah, karena kita akan merasa ada yang hilang darinya. Namun, yang tidak kita sadari adalah bersama yang hilang juga akan ada ruang. Ruang baru yang entah bagaimana kita akan mengisinya. Melepaskan tidak hanya tentang kehilangan, namun juga tentang mendapatkan. Entah itu hanya sekedar ruang kosong, atau jeda.
Kutulis ini sambil menikmati dinginnya pagi Sembalun, angin yang membelai wajah dan rambutku, kicau burung yang merdu, dan menatap puncak Rinjani yang kemerahan karena pantulan matahari. Terima kasih Tuhan, Aku punya ruang untuk menikmati semua yang disuguhkan di hadapanku. Aku mencintai Aku dengan kesadaranku.